Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegur keras India atas insiden meninggalnya anak-anak di Gambia, Afrika. Hal itu ada kaitannya usai mengonsumsi obat sirop buatan India. Obat-obatan itu tercemar senyawa Etilena Glikol dan Dietilena Glikol (EG dan DEG) yang memicu risiko kerusakan ginjal.
Peneliti dan Asisten Manajer Program Lembaga Takshashila, India, Mahek Nankani, mengungkapkan kejadian di Gambia adalah sebuah pengingat untuk membersihkan kekacauan sistem regulasi obat di India. Padahal India selama ini dikenal sebagai apotek dunia.
“Sudah saatnya India mulai membersihkan kekacauan di industri farmasi sebelum insiden serupa terjadi,” jelasnya.
Sistem regulasi obat yang kurang memadai di negara itu kembali mendapat sorotan setelah 69 anak di Gambia meninggal setelah mengonsumsi sirop obat batuk yang diproduksi oleh perusahaan farmasi yang berbasis di Haryana. India adalah negara terbesar ketiga di dunia dalam hal memproduksi obat dalam jumlah tertinggi. Namun, obat-obatan palsu beredar di pasar dengan bebas.
“Pengujian kualitas yang lemah, sistem pengadaan dan pasokan di bawah standar, sistem otoritas perizinan yang terputus-putus, dan kesenjangan dalam penerapan undang-undang pengaturan obat harus diperbaiki,” ungkapnya.
Catatan Buruk Regulasi Obat di India
Ternyata ini bukan pertama kalinya obat-obatan gagal dalam tes kualitas dan menyebabkan hilangnya nyawa di India. Antara Desember 2019 dan Januari 2020, sirop obat batuk juga tercemar dietilena glikol dan dikaitkan dengan kematian 14 bayi di distrik Ramnagar dan Jammu di Udhampur. Kemudian, penilaian CDSCO yang dilakukan antara 2014 dan 2016 menemukan bahwa 5 persen obat-obatan India, banyak di antaranya diproduksi oleh perusahaan farmasi besar, gagal dalam tes kualitas.
Di Himachal Pradesh, tes kontrol kualitas pada sekitar enam sampel obat gagal pada Juni 2020. Ada juga insiden sebelumnya pada 2016, ketika lembaga penegak obat dari tujuh negara bagian mengklaim bahwa 27 obat-obatan yang dijual oleh farmasi India memiliki kualitas yang lebih rendah.
“Konsumsi obat di bawah standar secara terus menerus terbukti menyebabkan penurunan efektivitas suatu obat untuk mengobati penyakit. Selain itu, dalam beberapa kasus, pasien juga mengalami efek samping dari bahan yang tidak terduga,” katanya.
Mahek Nankani menambahkan meski produksi obat-obatan dan perangkat di bawah standar dapat dituntut di bawah hukum, sebagian besar waktu para pelanggar dibebaskan karena pengawasan yang buruk. Bahkan, jika suatu obat diduga dilarang di satu negara bagian, obat tersebut dapat dengan mudah dijual dan dikonsumsi di negara bagian lain karena kurangnya mekanisme pengikatan tingkat nasional.
“Karena kehadiran beberapa regulator selalu ada masalah koordinasi dan penegakan tunggal. Selain itu, baik inspektur maupun SDRA (Otoritas Pengatur Obat Negara) tidak diharuskan untuk menyimpan catatan produsen obat yang tidak patuh dan melanggar. Ini telah berulang kali menyebabkan masalah dengan pelacakan dan penuntutan pelanggar berulang,” jelasnya.
Menurut catatannya, ada banyak kasus persetujuan obat tanpa bukti yang memadai dan penyalahgunaan proses persetujuan oleh produsen dan regulator. Undang-undang obat India yang lemah menelan korban jiwa orang-orang di seluruh dunia.
“Insiden Gambia baru-baru ini adalah peringatan bagi kami untuk memperkuat kerangka peraturan obat kami. Ada kebutuhan akan mekanisme dan struktur yang lebih baru. Kerangka peraturan obat baru harus didasarkan pada gagasan transparansi, efektivitas, dan sesuai dengan standar yang ditetapkan internasional dan kebutuhan publik kontemporer. Sudah saatnya kita mulai membersihkan kekacauan di industri farmasi sebelum insiden serupa terjadi lagi,” tegasnya.
(jp)