Wartajakarta.id – Pemerintah Tiongkok belum mampu menghentikan gelombang protes yang menentang kebijakan nol kasus Covid-19. Unjuk rasa masif hingga terjadi bentrok antara penduduk dan petugas kepolisian di Guangzhou.
Berbagai video amatir yang beredar memperlihatkan massa yang mendorong petugas kepolisian berbaju hazmat. Penduduk ingin keluar dari wilayah mereka yang di-lockdown.
Dalam video lain yang diunggah di Twitter, tampak puluhan polisi dengan perlengkapan hazmat serbaputih memegang perisai dan berjalan menyusuri Distrik Haizhu, Guangzhou. Tampak kaca-kaca pecah di sekeliling mereka. Orang-orang terlihat melemparkan sejumlah benda ke arah polisi. Setelah itu, selusin orang diamankan dengan tangan terikat kabel.
Chen, warga Guangzhou, berkata pada Agence France-Presse bahwa dirinya melihat sekitar 100 polisi berkumpul di Desa Houjia, Distrik Haizhu. Mereka menangkap setidaknya tiga pria.
Selama ini, Haizhu yang dihuni 1,8 juta penduduk telah menjadi sumber penularan kasus Covid-19 di Guangzhou. Banyak wilayah di distrik tersebut yang di-lockdown sejak Oktober. Ini bukan kali pertama penduduk Haizhu menentang lockdown. Awal November, mereka sudah turun ke jalan dan merusak pembatas.
Di Distrik Tianhe, sejak Selasa pagi penduduk berbondong-bondong meninggalkan rumahnya. Antrean mengular di jalur keluar dari wilayah tersebut. Distrik itu akan dikuntara. Penduduk menerima peringatan darurat pukul 01.00. Mahasiswa yang berada di asrama kampus dijemput oleh orang tua masing-masing.
”Saya dulu berkata bahwa ini adalah tempat yang ramah. Tapi, kini seperti neraka,” ujar seorang pengguna Weibo, Ludao Lizi, yang ikut pergi dari Distrik Tianhe.
Jubir Komisi Kesehatan Nasional Guangzhou Zhang Yi menyatakan bahwa epidemi Covid-19 di Distrik Tianhe melonjak cepat. ”Risiko penularan sosial terus meningkat,” terangnya.
Akhir pekan lalu demo juga terjadi di Beijing, Shanghai, dan beberapa area lain. Aksi itu dipicu kebakaran di Urumqi, wilayah otonomi khusus Xinjiang. Sepuluh orang tewas dalam kebakaran tersebut. Korban diduga terlambat keluar karena gedung tempat tinggalnya di-lockdown. Tim penyelamat juga datang terlambat karena aturan pembatasan Covid-19. Itulah yang membuat penduduk Tiongkok berang.
Lembaga keamanan tertinggi Tiongkok pada Selasa malam memperingatkan bahwa pihak berwenang akan menindak setiap aksi protes. Aksi menentang pembatasan Covid-19 saat ini merupakan yang paling besar sejak aksi prodemokrasi pada 1989.
Lembaga Monitor Perbedaaan Pendapat Tiongkok yang dijalankan Freedom House memperkirakan setidaknya 27 demonstrasi terjadi di Negeri Tirai Bambu. Itu dimulai Sabtu (26/11) hingga Senin (28/11). Lembaga lain, ASPI Australia, memperkirakan bahwa 43 aksi protes terjadi di 22 kota.
Pemerintah Guangzhou berusaha melonggarkan aturan setelah berkali-kali diprotes. Pada Selasa petang, keluar aturan bahwa karantina bisa di rumah saja. Tidak harus ke fasilitas pemerintah seperti biasanya.
Di Zhengzhou, Henan yang merupakan lokasi pabrik supplier pembuatan iPhone milik Apple, Foxconn, diumumkan bahwa bisnis bisa berlangsung seperti biasa secara tertib. Itu termasuk supermarket, pusat kebugaran, dan restoran. Namun, mereka tetap mengeluarkan daftar panjang bangunan yang lockdown di distrik tersebut.
Sementara itu, pemerintah AS dan Kanada meminta Tiongkok untuk tidak menggunakan kekerasan pada pengunjuk rasa yang menentang kuntara. Jubir Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby menuturkan, Tiongkok seharusnya membiarkan penduduk melakukan aksi protes secara damai dan tidak menggunakan kekerasan untuk menghentikan demo.
”Kami tak ingin demonstran disakiti secara fisik, diintimidasi, dan dipaksa,” tegasnya, seperti dikutip CNN.
(jp)