Wartajakarta.id – Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Laurentius Amrih Jinangkung menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengikuti keinginan Vietnam dalam proses penyelesaian masalah batas di wilayah landas kontinen (ZEE) wilayah Laut Natuna Utara. Amrih menegaskan bahwa mengikuti keinginan Vietnam hanya akan merugikan kepentingan Indonesia.
Untuk dikethaui, sengketa mengenai wilayah perbatasan ZEE di Laut Natuna Utara antara Indonesia dengan Vietnam merupakan salah satu polemik yang sudah berlangsung lama dan belum berhasil diselesaikan dengan dibentuknya suatu perjanjian bilateral. Sampai saat ini, masalah penetapan batas ZEE antara Indonesia dengan Vietnam masih belum menemukan titik temu yang memuaskan bagi kedua pihak.
“Kita tetap bersikeras dengan batas laut yang kita tetapkan, sementara Vietnam juga bersikeras dengan batas laut yang dia inginkan, perbedaan kedua garis penetapan itu yang menyebabkan tidak ditemukannya kesepakatan,” ujar Amrih.
Amrih menambahkan, dasar dari penetapan garis batas yang diusulkan oleh Indonesia adalah berpatokan pada UNCLOS 1982, sementara Vietnam ingin agar batas negara dengan Indonesia itu sejajar dengan garis batas landas kontinen.
Berdasarkan perkembangan perundingan terakhir, Tim Teknis Vietnam telah mengusulkan membagikan remaining area secara “equal” dan Indonesia sedang meminta penjelasan dari Vietnam terkait maksud dan pengertian ‘equal’.
Dilihat dari usulan Vietnam, kata Amrih, negara tersebut berupaya untuk mencapai keuntungan yang lebih maksimal. Jika Tim Teknis Indonesia menerima usulan garis equal yang diusulkan Vietnam, Indonesia akan kehilangan wilayah laut yang cukup luas dan potensi sumber daya ikan.
“Kalau kita ikuti maunya Vietnam, kita yang rugi. Makanya dari dulu tidak selesai masalah batas wilayah ini. Kendalanya hanya itu saja. Tapi kita tetap terus berupaya melakukan pembicaraan dengan Vietnam,” ujar Amrih lagi.
Pertemuan Teknis ke-16 penetapan batas ZEE Indonesia-Vietnam dikonfirmasikan telah diselenggarakan di Hanoi, Vietnam pada 24-25 November 2022. Awalnya, pertemuan tersebut direncanakan dilaksanakan pada paruh kedua Oktober 2022, namun ditunda karena padatnya agenda. Pada kesempatan tersebut, kedua pihak membahas metode pembagian remaining area lebih lanjut. Namun, posisi saat ini untuk pembagian remaining area sudah jauh melampaui red line berbagai pihak, termasuk Kementerian Perikanan dan Kelautan, pengamat maritim dan organisasi kelautan.
Harus Ditindak
Sementara itu, pengamat kelautan Achmad Santoso mengharapkan adanya tindakan tegas terhadap kapal nelayan asal Vietnam yang melakukan pencurian ikan di ZEE, dikutip dari ANTARA.
Menurut dia, tindakan yang dilakukan di daerah Laut Natuna Utara tersebut merugikan kedaulatan nasional dan sektor perikanan tanah air, mengingat tidak ada itikad baik dari kapal-kapal tersebut.
“Tren operasi kapal Vietnam di ZEE Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 2021 hingga September 2022, apa yang dilakukan oleh Kapal ikan Vietnam itu melanggar pasal 56 UNCLOS 1982,” kata Achmad.
CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) ini mengatakan sepanjang September 2022 kehadiran kapal ikan asing berbendera Vietnam mencapai 54 kapal yang sebagian beroperasi dengan menggunakan pola penangkapan ikan pair trawling.
“Alat penangkapan ikan jenis pair trawl masuk kategori alat tangkap yang merusak sumber daya ikan dan dilarang penggunaannya di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia,” katanya.
Oleh karena itu, ia mengharapkan adanya ketegasan mengingat Indonesia memiliki wewenang dan kewajiban utama untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk menindak pelanggaran pemanfaatan sumber daya ikan di ZEE.
(jp)