Wartajakarta.id – Presiden Tiongkok Xi Jinping menyusul kedatangan Presiden AS Joe Biden di Bali untuk menghadiri pertemuan tingkat tinggi KTT G20 pada 15-16 November 2022. Xi tiba pada Senin (14/9) sedangkan Biden tiba pada Minggu (13/11) malam. Keduanya dijadwalkan bertemu tatap muka pertama kalinya sejak Biden dilantik sebagai Presiden AS. Mereka juga akan pertama kali bertemu setelah hubungan Tiongkok dan AS tegang sejak pandemi Covid-19.
Berdasar laporan Reuters, Xi dijadwalkan bertemu dengan Biden pada Senin (14/9) malam. Ini akan menjadi kesempatan bagi kedua pemimpin tersebut untuk membahas poin-poin ketegangan utama dan mencari cara untuk menjaga komunikasi tetap terbuka di tengah persaingan kekuatan besar.
“Para pemimpin (Xi dan Biden) akan membahas upaya untuk mempertahankan dan memperdalam jalur komunikasi, mengelola persaingan secara bertanggung jawab, dan bekerja sama jika kepentingan kita selaras,” kata Gedung Putih.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan penting bagi kedua belah pihak untuk mengelola perbedaan dengan benar dan menghindari kesalahpahaman dan salah perhitungan. Tujuannya untuk mengembalikan komunikasi yang sempat tersendat.
“Dan, mengembalikan hubungan Tiongkok-AS ke jalur yang benar. Tetapi, Tiongkok juga akan dengan tegas mempertahankan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunannya,” kata juru bicara.
Xi dan Biden akan bicara seputar isu politik dan ekonomi. Bulan lalu, Xi mengamankan masa jabatan ketiga usai kongres Partai Komunis. Xi siap bertemu tatap muka dengan Biden.
Pertemuan Biden-Xi Jinping adalah yang pertama sejak politikus Demokrat tersebut menjabat presiden ke-46 AS pada 2021. Beberapa tahun terakhir, hubungan AS-Tiongkok kian meregang. Persaingan kedua negara kian intensif.
Beijing dan Washington tidak sepakat pada banyak isu. Mulai ketegangan di Taiwan, kebebasan navigasi di Laut China Selatan, pelanggaran HAM, perang di Ukraina, hingga program nuklir milik Korea Utara (Korut). Tiongkok merupakan sekutu utama Korut dan lebih condong memihak Rusia.
Dua pemimpin tersebut juga diperkirakan bakal membahas praktik perdagangan. Oktober lalu AS menerapkan aturan kontrol ekspor atas semikonduktor dan teknologi maju. Kebijakan tersebut membatasi kemampuan Tiongkok untuk memproduksi dan membeli cip (chip) komputer. Di era kepemimpinan mantan Presiden Donald Trump, dua negara itu juga saling perang tarif. Masalah soal tarif itu pun belum sepenuhnya usai.
Biden menyatakan bahwa dirinya dan Xi Jinping saling mengenal dengan baik dan memiliki sedikit kesalahpahaman. Mereka hanya harus mencari tahu di mana garis merah atau batasannya. ”Presiden berharap bisa menghasilkan kesepakatan di beberapa area di mana dua negara, dua presiden dan timnya, bisa bekerja secara kooperatif dalam isu-isu substantif,” tegas Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan.
Biden diperkirakan akan mendorong Xi Jinping agar mengendalikan Korut. Belakangan ini Pyongyang terus-menerus menguji coba misilnya dan menimbulkan ketegangan di Semenanjung Korea. Dia juga diperkirakan akan menguji coba senjata nuklirnya untuk kali ke-7.
Selain Korut, Rusia juga diperkirakan akan menggunakan senjata nuklir dalam perang di Ukraina. Biden dan sekutu-sekutunya di G20 ingin menegaskan kepada rezim Putin bahwa perang nuklir tidak bisa diterima.
Namun, Rusia dan Tiongkok mungkin akan memblokir pernyataan tersebut. Meski tidak memberikan dukungan secara gamblang, Tiongkok menunjukkan keengganan memutus hubungan dengan Rusia ataupun memberi AS kemenangan.
Mantan Direktur Urusan Tiongkok di Dewan Keamanan Nasional AS Ryan Hass mengatakan bahwa Xi Jinping mungkin tidak akan bermurah hati dalam pertemuannya dengan Biden. ”Dia tidak ingin dianggap memenuhi permintaan Biden, baik tentang Ukraina, penggunaan nuklir, Korea Utara, ataupun masalah lainnya,” ujar Hass seperti dikutip Agence France-Presse.
Biden tidak berencana untuk duduk dan berbicara empat mata dengan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). Sebab, AS kecewa dengan Arab Saudi. Juli lalu Biden dan MBS bertemu. Saat itu Biden merayu Saudi untuk meningkatkan produksi minyak guna menggantikan suplai Rusia di AS dan Eropa.
Ketika Rusia menginvasi Ukraina, negara-negara Eropa berusaha memblokade pembelian minyak mentah ke Kremlin. Tapi, di saat bersamaan, mereka bergantung pada suplai dari Saudi. Namun, alih-alih menuruti Biden, dalam KTT Opec+, Saudi justru akan memangkas produksi minyaknya. Itu menjadi pukulan tersendiri bagi AS yang hingga saat ini berusaha mengendalikan harga pangan dan energi.
(jp)